banner large

Dilema Demokrasi: Elite Politik vs Kotak Kosong, Warga Tanpa Pilihan

Comment
X
Share

Qnews, JAKARTA – Fenomena calon tunggal yang berhadapan dengan kotak kosong terjadi di sejumlah daerah jelang Pilkada 2024. Situasi ini menggambarkan kompleksitas dinamika politik, di mana partai-partai besar berkolaborasi dalam koalisi yang kuat, sehingga menyisakan sedikit ruang bagi calon lain untuk berkompetisi.

Diperkirakan, setidaknya 48 daerah akan menghadapi kondisi di mana hanya terdapat satu pasangan calon.

Pengamat Politik, Ujang Komarudin menjelaskan, jika melihat kotak kosong tetap lah sebuah pilihan politik, namun bukan pilihan yang ideal.

“Kotak kosong secara konstitusi dan menurut undang-undang itu sah dan sudah diatur, itulah dilemanya di satu sisi tidak sehat untuk demokrasi di sisi lain undang-undang membolehkan, tapi ya itulah demokrasi,” kata pengamat politik, Ujang Komarudin saat dihubungi tim Qnews, Rabu (4/9).

Ujang juga menjelaskan bahwa para kandidat bakal calon mengalami kelelahan pada gelaran Pilpres 2024. Kondisi ini dipicu oleh jadwal Pilkada yang berdekatan dengan Pilpres 2024 lalu, yang akhirnya memaksa partai-partai untuk melakukan konsolidasi intensif.

Sebagai dampaknya, fenomena calon tunggal yang bertarung melawan kotak kosong semakin marak. Strategi ini dianggap lebih efisien karena mengurangi biaya kampanye yang biasanya sangat besar.

“Saya melihatnya fenomena ini, dengan membeli semua partai tanpa ada lawan tanding, bakal calon memiliki potensi menang yang jauh lebih besar mungkin hingga 99%, berbeda dengan jika ada lawan tandingnya ini akan jauh lebih seru, dan masyarakat pun mempunyai alternatif pilihan untuk pemimpin terbaiknya,” jelasnya.

Salah satu faktor yang juga menyebabkan munculnya calon tunggal adalah keengganan partai politik untuk mencalonkan figur yang dianggap kurang memiliki peluang untuk menang.

Selain itu, hasil pemilu nasional sering kali mempengaruhi keputusan partai di tingkat daerah, yang cenderung memilih untuk mendukung calon dengan peluang menang lebih besar.

Dalam situasi ini, muncul dilema antara keinginan elite politik untuk bersaing melawan kotak kosong dan kenyataan bahwa warga tidak memiliki pilihan untuk mencari pemimpin terbaik mereka.

Masyarakat dihadapkan pada keterbatasan alternatif terhadap kandidat yang berkualitas, berintegritas, dan berkapasitas. Partai politik tidak memanfaatkan demokrasi untuk mengusung calon yang memenuhi kriteria tersebut, sehingga demokrasi hanya berjalan secara prosedural tanpa substansi yang kuat.

Meskipun secara hukum diperbolehkan, namun secara demokrasi hal ini dianggap tidak sehat dan tidak ideal.

banner 728x90